Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Kita Punya Rasa Lapar


Lapar? Pertanyaan "mengapa kita merasa lapar?" sepertinya sangat gampang untuk dijawab. Itu alasannya ialah kita perlu mendapat nutrisi untuk bertahan hidup. Rasa lapar ialah sinyal bagi kita untuk sanggup mengetahui bahwa kita perlu mendapat nutrisi untuk badan kita. Tetapi bagaimana kita benar-benar tahu bahwa kita lapar? Jawabannya sanggup dianalisis oleh tiga komponen yang berbeda: biologis, pembelajaran, dan kognitif.

Kelaparan dan Makan Berdasarkan Biologi
Banyak teori kelaparan secara historis dibahas dari komponen biologis. Cannon dan Washburn (seperti dikutip dalam buku Psychology: A Journey oleh Dennis Coon & John O. Mitterer) muncul dengan teori kontraksi perut yang menyatakan bahwa kita tahu kita lapar saat perut kita berkontraksi. Dalam penelitian balon yang terkenal, Washburn melatih dirinya untuk menelan balon yang dilekatkan ke tabung, lalu balon itu dipompa ke dalam perutnya. Ketika balon itu mengembang, ia tidak merasa lapar. Belakangan teori ini ditentang oleh fakta bahwa orang yang perutnya diangkat masih terasa lapar. Teori Glukosa menyatakan bahwa kita merasa lapar saat kadar glukosa darah kita rendah. Bash (seperti dikutip dalam buku Human Motivation oleh Robert E. Franken, 1994) melaksanakan percobaan transfusi darah dari anjing yang kenyang ke anjing yang kelaparan. Transfusi menjadikan penghentian kontraksi perut pada anjing yang kelaparan, dan mendukung teori glukosa. Tetapi menyerupai LeMagnen (sebagaimana dikutip dalam Biological Psychology,oleh James W. Kalat ) menawarkan bahwa kadar glukosa darah tidak banyak berubah dalam kondisi normal. Teori asam lemak menyatakan bahwa badan kita mempunyai reseptor yang mendeteksi peningkatan kadar asam lemak. Aktivasi reseptor untuk asam lemak memicu rasa lapar.

Kelaparan dan Makan Berdasarkan Pembelajaran
Kelaparan tidak sanggup benar-benar dijelaskan hanya oleh komponen biologis. Sebagai manusia, kita tidak sanggup mengabaikan bab psikologis kita, komponen yang dipelajari dan kognitif dari rasa lapar. Tidak menyerupai makhluk lain, kita insan memakai jam eksternal dalam rutinitas sehari-hari kita, termasuk kapan harus tidur dan kapan harus makan. Waktu eksternal ini memicu rasa lapar kita. Misalnya, saat jam menawarkan jam 12 siang, waktu makan siang, banyak orang merasa lapar hanya alasannya ialah waktu makan siang sudah tiba. Rasa lapar ini dipicu oleh sikap yang dipelajari. Selain itu, bau, rasa, atau tekstur masakan juga memicu rasa lapar. Misalnya, kalau kita suka bakso, anyir dari aroma bakso ini sanggup memicu rasa lapar. Namun, preferensi rasa, bau, atau tekstur ini ialah preferensi yang dipelajari secara kultural. Jika seseorang tidak suka bakso, aroma bakso tidak akan memicu rasa lapar. Menariknya, orang juga merasa lapar akan rasa tertentu, lebih spesifik dalam empat rasa dasar: manis, asam, pahit, dan asin. Misalnya, mulut yang sering didengar adalah, "Enaknya kalau sanggup makan yang manis-manis." Orang-orang terus merasa lapar hingga rasa ini terpuaskan.

Kelaparan dan Makan Berdasarkan Kognisi
Warna juga berkontribusi terhadap rasa lapar. Melihat pisang kuning menciptakan orang ingin memakannya, tetapi pisang hijau tidak. Demikian pula, merah atau hijau sanggup memicu rasa lapar untuk apel. Dengan begitu, warna sangat memengaruhi rasa lapar kita.

Banyak orang mengonsumsi masakan menurut pengetahuan mereka perihal masakan apa yang baik bagi mereka. Misalnya, rendah lemak, rendah gula, dan masakan rendah sodium dikatakan bagus. Akhirnya orang berguru mengubah preferensi mereka dan hanya ingin makan "makanan enak". 

Source: